Google Doodle Rayakan Hari Ulang Tahun Daeng Soetigna
Google Flores - Hari ini 13 Mei 2016 Google Doodle secara spesial merayakan ulang tahun Daeng Soetigna. Daeng Soetigna adalah seorang Tokoh Jawa Barat, seorang guru dan seorang pencipta angklung diatonis. Karya ciptaannya itulah membuat angklung menjadi besar dan bisa memainkan musik internasional.
Daeng Soetigna (13 Mei 1908-8 April 1984) adalah seorang guru yang lebih terkenal sebagai pencipta angklung diatonis. Karya dia inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisionil Indonesia mampu memainkan musik-musik Internasional. Ia juga aktif dalam pementasan orkes angklung di berbagai wilayah di Indonesia.
Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi. Sekolah yang sempat dia enyam adalah:
HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murind angkatan kedua. Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923 Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928. Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Nantinya pada umur 45 tahun, Pak Daeng menngikuti beberapa pendidikan lanjut:
Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena menurut panitia dia tidak berhak. Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.
Karier
Setelah tamat dari HIS, Pak Daeng Soetigna menjadi guru.
- Tahun 1928, menjadi guru di Schakelschool Cianjur
- Tahun 1931, menjadi guru HIS di Kuningan
- Tahun 1942, seiring kedatangan Jepang, HIS diubah menjadi SR (Sekolah Rakyat), dan Pak Daeng diangkat menjadi kepala sekolah
- Tahun 1945, setelah proklamasi berdirilah SMP Kuningan I di mana sebagian gurunya diambil dari SR, termasuk Pak Daeng.
- Tahun 1948, Pak Daeng pindah ke Bandung dan menjadi kepala sekolah SD, dan diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
- Tahun 1950, menjadi penilik sekolah dan diperbantukan pada kursus-kursus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
- Tahun 1956, sepulang dari Australia Pak Daeng diangkat menjadi konsultan pengajaran seni suara di SGA 2 Bandung, SGA Kristen Jakarta, SGA 1 Jogjakarta, SGA Balige dan SGA Ambon.
- Tahun 1957, menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat.
- Tahun 1960, diangkat sebagai Kepala Konservatori Karawitan, Bandung.
- Tahun 1964, Pak Daeng pensiun dari pengabdiannya sebagai pegawai negeri sipil.
Penghargaan
Penghargaan yang diberikan kepada Pak Daeng di antaranya:
- Piagam Penghargaan, atas Jasanya Dalam Bidang KesenianKhususnya dan Kebudayaan Pada Umumnya, dari Gubernur Jawa Barat Brigjed Mashudi, 28 Februari 1968.
- Piagam Penghargaan, dalam rangka mendorong pertumbuhan, pemekaran dan pengembangan keseniang angklung di ibukota, dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, 10 September 1968.
- Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan, dari Presiden Republik Indonesia, Jend. Soeharto, Oktober 1968.
- Piagam Penghargaan, atas jasa dalam pembinaan dan pengembangan seni daerah, khususnya seni Angklung, dari Gubernur Jawa Barat H.A. Kunaefi, 17 Agustus 1979.
Setelah meninggal, Pak Daeng masih terus menerima penghargaan, di antaranya:
- Piagam Penghargaan, sebagai perintis Pembangunan Pariwisata Jawa Barat, dari Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana, 18 Februari 1994.
- Piagam Penghargaan, seniman angklung yang telah berkreasi dan berkarya mengharumkan nama Jawa Barat di tingkat Nasional, dari Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, 21 Juli 2005.
- Piagam Penghargaan dan Metronome Award 2006, sebagai pengembang musik tradisional Angklung, dari Pusat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia, 21 Juli 2005.
- Penghargaan Nasional Hak Kekayaan Intelektual 2013, Pencipta Angklung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia, Amir Syamsudin, 26 April 2013.
Cerita Lain Tentang Daeng Soetigna
Wajah laki-laki yang usianya sudah menginjak setengah abad tidak menunjukkan tanda kelelahan. Ruang Yayasan Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan pada Minggu pagi 27 Juli 1958 menjadi saksi buah perjuangan laki-laki bernama Daeng Soetigna ketika diangkat menjadi Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat. Serah terima jabatan dari Kepala Jawatan Lama Oemaj Marta Koesema yang memasuki usia pensiun pada 1 Juli 1958 kepada Daeng Soetigna dihadiri oleh Oesman Joedakoesoemah, Kepala Jawatan Kebudayaan Pusat dan Kepala Perwakilan Kementerian PPK untuk Jawa Barat Djusar Kartasubrata.
Pengangkatannya sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat adalah pengakuannya sebagai budayawan terkemuka di Jawa Barat masa itu. Menurut Oesman sosok Daeng Soetigna diharapkan mampu menjalin hubungan erat antara jawatan ini dengan masyarakat serta badan-badan kesenian lainnya. “Daeng Soetigna meneruskan kemajuan di lapangan kesenian,” katanya kepada para wartawan yang hadir.
Kelahiran Pameungpreuk, Garut 13 Mei 1908 yang bernama lengkap Mas Daeng Soetigna mewarisi bakat mendidik dari ayahnya Mas Kartaatmadja dan bakat seni dari ibunya Nyi Raden Ratna Soerastri. Nama Daeng diambil dari seorang sahabat ayahnya yang datang dari Makassar karena terkesan pada kecerdasannya. Sang ayah bekerja sebagai Mantri Guru di Pangandaran, Ciamis Selatan hingga Daeng Soetigna melewatkan masa kecilnya di daerah itu. Pada masa itu tidak ada sekolah antara Parigi dan Cijulang hingga Kartaatmadja membuka sekolah.
Daeng Soetigna melewatkan masa pendidikannya di HIS Garut sekitar 1918 hingga 1921 dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bandung pada 1922 dan lulus pada 1928. Pertama kali mengajar di Cianjur kemudian ke Kuningan mengajar HIS. Daeng mengajar menyanyi dan olahraga untuk semua kelas. Dia juga mengajar Ilmu Bumi dan menggambar untuk kelas IV ke atas. Di luar kelas ia memndirikan dan membina kepanduan.
Pada waktu membina kepanduan ini Daeng (dia lebih karib dipanggil Encle) memperkenalkan angklung dan band harmonika kepada para pandu. Di rumahnya ia juga melatih Band Mandolin. Namun dia sendiri mendapatkan inspirasi bermain angklung dari seorang pengemis yang datang ke rumahnya membawa angklung buncis pada tahun 1930-an. Dia kemudian membeli angklung itu dan belajar dari pengemis itu. Daeng terus belajar, dia bertemu seorang bernama Djaja belajar mencari suara dari bambu. Berkat keuletannya Daeng menyusun not balok. Dia bisa membuat angklung yang bertangga nada diatonis. Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga piano. Pada 1938 itu Daeng mampu memainkan lagu-lagu Eropa dengan angklung.
Pada 1948, Daeng pindah ke Bandung dan menjadi kepala sekolah SD, dan diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Dua tahun kemudian ia menjadi penilik sekolah dan diperbantukan pada kursus-kursus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Keterampilannya memainkan angklung ditunjukkannya pada 12 November 1946 dalam perundingan Linggarjati di depan tamu mancanegara. Daeng Soetigna bersama rombongannya diundang ke istana, yang menjemputnya Sutan Syahrir. Soekarno terkesan dan mengunjungi Kuningan. Sejak itu Daeng dan rombongannya kerap tampil di upacara kenegaraan. Daeng juga pernah menunjukkan kemampuannya bermain angklung ketika dia menuntaskan lagu ciptaan Johan Strauss “An Der Schonen Blauen Donau” pad Mei 1947 di Bandung. Daeng dan tim angklungnya ikut mengisi acara Konferensi Asia Afrika April 1955.
Pada 1955 Daeng mendapatkan kesempatan belajar di Australia dalam rangka Colombo Plan. Daeng belajar setengah tahun di Sydney College namun ilmu yang diinginnya justru datang dari seorang Rusia bernama Igor Hemelnitsky (1920-1987). Sekalipun orang ini tidak berkewarganegaraan, namun Igor ini sudah tersohor di New South Wales sebagai ahli dan guru musik. Pianis putra dari musisi asal Kiev, Rusia Alexander Hmelnitsky (1891-1965) ini yang mengakui bahwa angklung bisa menjadi alat musik yang sama pentingnya dengan alat musik lain.
Agak sulit bagi penulis menemukan karya Daeng Soetigna pada 1950-an. Penelusuran saya di perpustakaan nasional hanya menemukan buku setebal 48 halaman berjudul “Gembiran Bernjanji”. Buku pelajaran menyanyi ini diterbitkan Ganaco NV Bandung 1956, ditulis oleh Daeng Soetigna bersama A.H. Harahap. Isi buku ini 14 syair lagu bersama not baloknya yang ditujukan pada pelajar Sekolah Rakyat pada masa itu. Lagu pertamanya adalah Indonesia Raya, sisanya lagu yang benar-benar untuk anak-anak bila disimak liriknya.
Lirik lagu ini benar-benar mencerminkan dunia anak sekolah masa itu. Misalnya lagu “Mari Berolahraga”, liriknya: Ajuh mari berolahraga/bermain kasti/bermain bola/petang pagi setiap hari/beramai-ramai riangkan hati. Pada masa itu 1950-an olahraga yang popular bagi anak Sekolah Rakyat adalah bermain sepakbola atau kasti. Lagu lain yang menarik bagi penulis ialah “Garudaku” tentang maskapai penerbangan Garuda pada masa itu sudah menjadi kebanggaan. Simak liriknya: Garudaku, Garudaku/bawalah kami naik terbang/ terbanglah jauh di angkasa/senang-senang bersuka ria.
Sejarah kemudian mencatat bahwa peran dan pengaruh Daeng Soetigna hingga saat ini. Namun tulisan saya hanya membahas Daeng Soetigna pada era 1950-an sebagai orang yang berpangaruh di Jawa Barat.
Sumber:
1.) Berita Antara 27 Juli 1958 no: 207/A/B
2.) Pikiran Rakjat, 28 juli 1958
3.) Barendregt, Bart, Sonic Modernities in Malay World : A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyle (1930S -2000S),Leiden, Brill 2014
4.) Soetigna, Daeng dan Harahap, A,H, Gembira Berjanji, Bandung: NV Ganaco, 1956
5.) Sjamsuddin,Helius dan Winiasasmita, Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudaayaan: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, 1986
6.) http://adb.anu.edu.au/biography/hmelnitsky-igor-13317 diakses pada 10 Februari 2016
7.)wiki
8.) kompasiana Irvan Sjafari
0 komentar:
Posting Komentar